-->

Mengenal Kelembagaan "Raja Sinambela(s)" [Raja 16] dan Hubungannnya dengan Sultan Daulat dan Pemerintahan Sisingamangaraja XII

Ad
ilustrasi
BERITA HARIAN -- Pada ujung pemerintahannnya pada 1907, Raja Sisingamangaraja XII, Patuan Bosar Ompu Pulo Batu yang dikenal bermarga Sinambela hidup dalam bergerilyah selama puluhan tahun.

Dalam perjuangan itu Sisingamangaraja XII mendapat dukungan moril dan materil dari Aceh. Namun tidak diketahui dan terdapat dokumentasi yang jarang mengenai dukungan tersebut.

Baru-baru ini dalam usaha menulis (baca) kembali sejarah Sultan Daulat (Sambo), Raja Kerajaan Batu-batu dari Rundeng, Subulussalam (dulu masuk Singkil), Aceh diketahui bahwa kerajaan yang di bawah Aceh inilah yang terus membantu perjuangan Rjaa Batak tersebut bahkan setelah tewas ditembak pada tahun 1907.

Sumber


Sultan Daulat dan pihak Kerajaan Batu-batu meneruskan perjuangan Sisingamangaraja dan turut serta membangun Pakpak (baca) saat itu.

Sebenarnya tekanan kolonial Belanda terhadap masyarakat Batak, lebih ditekankan pada orang Batak yang beragama Islam, dalam hal ini Lance Castle manyatakan ; Pada tahun 1903, Kepala Kampung Janji Angkola, Aman Jahara Sitompul, yang telah menjadi Kepala Kampung selama 23 tahun, masuk Islam berkat anaknya Syeikh H. Ibrahim Sitompul. Akibatnya Aman Jahara Sitompul diberhentikan sebagai Kepala Kampung atas dasar beslit rahasia 1889. Di lain pihak pada tahun 1903, Janji Angkola Pabea Sitompul, saudara Syeikh Ibrahim Sitompul, berusaha keras untuk mengembalikan kehormatan ayahnya. Namun kali ini tanggapan keras datang dari pihak penjajah. Dia terbentur tembok dengan adanya surat keputusan dari pimpinan tertinggi penjajah di Indonesia yakni keputusan Gubernur Jenderal Penjajah tanggal 5 Juni 1919 yang tidak mengabulkan pengaduan tersebut. Asisten Residen Bataklanden dan Residen Tapanuli kemudian melakukan langkah dengan memisahkan orang-orang Batak di Singkel dengan Dairi. Hubungan lalu lintas antara Singkel dan Dairi pun diputus. Raja Batu-batu, seorang Raja Batak Singkel, yang kebetulan seorang muslim dilarang untuk mendatangi rakyatnya di Dairi. (Surat Residen Tapanuli Westenberg ke Gubernur Jenderal tanggal 9 Oktober 1909, dalam Koleksi G.A.J Hazeu). Bahkan sejak tahun 1910 para pedagang Batak Singkel dilarang tinggal di daerah Batak, maksudnya Keresidenan Tapanuli, lebih dari 24 jam.        Meskipun fakta -fakta menunujukan bahwa tekanan kolonial terhadap masyarakat Batak lebih banyak ditujukan pada etnis Batak yang beragama Islam, tetapi dalam bukunya Tapanuli Lance Castle tidak secara tegas menyatakan bahwa tekanan kolonial Belanda lebih dikarenakan ketidak senangan kepada pemeluk Islam di Tapanuli dari pada aspek ekonomi dan politik. Dari semua kebijakan pemerintah kolonial Belanda di Tapanuli tidak ada satupun yang menguntung orang Muslim. Tekanan penjajah terhadap masyarakat Batak lebih ditujukan pada etnis Batak Muslim dan penganut agama tradisional yang setia dari pada etnis Batak yang beragama Kristen. Jadi tidak benar jika tekanan tekanan penjajah terhadap masyarakat Batak berlaku secara umum tanpa pengeculian antara Batak Islam dengan Batak Kristen, sepeti yang Lance Castle tulis dalam bukunya Tapanuli 1915 - 1940. Tekanan itu di jalankan sangat sistematis melalui perang Ideologi dan psikologis. (sumber)

Kerajaan Batu-batu merupakan kerajaan Pakpak Boang/Singkil yang mempunyai hubungan erat dengan Pagaruyung. Kerajaan ini termasuk dalam kelembagaan "Raja Sinambelas" (Raja 16) yaitu :

Simpang Kanan: terdiri dari Raja Tanjung Mas, Raja Surau, Raja Selatong, Raja Ujung Limus, Penghulu Pakiraman, Penghulu Simsim, Penghulu Rantau Panjang, Penghulu Tanah Merah, Kejeruen Sarasah, O.K. Balau Punaga dan Saping.

Simpang Kiri : terdiri dari Raja Tualang, Raja Kota Baru, Raja Pasir Belo, Raja Binanga, Penghulu Belegen, Penghulu Kumbi, Penghulu Batu-batu, Penghulu Longkip dan Penghulu Samar Dua.

Kerajaan Batak di bawah Dinasti Sisingamangaradja dalam sejarahnya mempunyai ikatan darah dan persaudaraan dengan Kesultanan Singkil. Bahkan tercatat Raja Sisingamangaradja XI pernah mengenyam pendidikan militer di Kesultanan Singkil sejak masa remajanya. Hubungan ini terus berlanjut hingga saat terjadinya perang antara Sisingamangaradja X-XII melawan Belanda, dimana Kesultanan Singkil secara penuh mendukung perjuangan kerabatnya dari Tanah Batak Toba ini.
Pada masa perang ini Gubernur militer Belanda dari Sumatra's Oostkust (Sumatera Timur) meminta bantuan kepada Gubernur mIliter Belanda di Atjeh untuk memotong kekuatan Sisingamangaradja yang bertahan di Tanah Dairi dari arah Utara. Bantuan dari Utara (Aceh) dmaksudkan untuk memotong jalur bantuan dari Kesultanan Batak Singkil sekutu setia Sisingamangaradja yang memiliki akses ke pesisir pantai Barat.
Juga dimaksudkan untuk memotong jalur masuknya bantuan paramiliter dari Kesultanan Aceh via pengiriman para penglima perang beretnis Batak Gayo dan Batak Alas yang telah berlangsung cukup lama.

Akibat dari perang ini penaklukan kerajaan Singkil dn bertekuk lutut kepada pasukan Belanda yang menyerang dari Utara.
Implikasi lanjutannya adalah :
Daerah Batak Singkil, Batak Gayo, Batak Kluet, dan Batak Alas atas permintaan komandan tentara Belanda di Kotapraja, dimasukkan ke dalam wiklayah Keresidenan Atjeh sebagai bagian kompensasi bantuan mereka sekaligus pelaksanaan Politik Devide et impera. Di sana mereka menjadi suku-suku Batak minoritas dalam lingkungan budaya mayoritas suku Aceh.

Dimana pada saat yang hampir bersamaan wilayah Batak lainnya dibagi pula ke dalam beberapa wilayah Keresidenan yang berbeda yakni :
1. Keresidenan Tapanuli. Direct Bestuur Gebied, sebuah daerah Pamong Praja dilepaskan dari daerah Keresidenan Sumatra's Westkust (Sumatera Barat) dengan wilayah administrativenya : Tapanoeli Utara, Tapanoeli Selatan, Tanah Dairi. Kemudian ditambahkan daerah kepulauan Nias yang secara etnis dan budaya sangat berbeda dari etnis Batak.
2. Sumatera Timur, Zelbestuurs Gebied, Swapraja yang menjadi suatu Keresidenan sendiri yaitu Sumatra's Oostrkust dengan wilayah Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara yang umumnya berbudaya Melayu Pesisir Timur dengan tambahan wilayah Suku Batak Karo dan wilayah Suku Batak Simaloengen. Akibatnya kedua suku Batak ini menjadi minoritas dalam ruang wilayah khazanah budaya Melayu Pesisir Timur.
Pembagian ini masih berlangsung hingga saat ini karena tetap dilanjutkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pasaca Proklamasi 17 Agustus 1945.

Kerajaan-kerajaan di Aceh Singkil Bagian Hulu

Daerah ini pernah dikuasai oleh tiga kerajaan kecil (Sabeak). Masing-masing : Negeri dari Marga Angkat, Negeri dari Marga Tendang yang beribukota Panisihan dan Negeri dari Marga Buluara. Ketiga negeri tersebut akhirnya lenyap. Beberapa tahun kemudian muncullah Kerajaan Berguh Tugan di wilayah Simpang Kanan (sungai Simpang Kanan). Tepatnya terletak didekat Kampung Tugan.

Menuju ke arah muara, di sekitar sungai Simpang Kanan tumbuh menjamur kerajaan-kerajaan kecil. Antara lain: Kerajaan Jantan Arus (seberang sungai Simpang Kanan), Kerajaan Bajar Pintor di Hilir Pakiraman, Kerajaan Betahpe didekat Kampung Surau, Kerajaan Kehing dan Raba (keduanya di belakang Cibubukan), Kerajaan Uhuk Latar (di belakang Surau) dan Kerajaan Huta Batu.

Menurut trombo, kerajaan-kerajaan kecil itu tunduk kepada Kerajaan Pagaruyung Minangkabau, keturunan dari Cindur Mata. Ketika Putra Maharaja Minangkabau kawin dengan Putri Aceh, wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri yang disebut juga “Rantau 12” dijadikan Mas Kawin. Dengan demikian kerajaan-kerajaan tersebut menjadi daerah kekuasaan Aceh.

Penobatan raja-raja di semua wilayah kekuasaan Aceh, dilakukan langsung oleh Sultan Aceh. Biasanya dilaksanakan dalam sebuah upacara dengan Surakata dan Keris kebesaran (Bawar). Kemudian di wilayah Singkil Hulu ini, terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil yang disebut “Raja Sinambelas” (Raja 16) yaitu :

Simpang Kanan : terdiri dari Raja Tanjung Mas, Raja Surau, Raja Selatong, Raja Ujung Limus, Penghulu Pakiraman, Penghulu Simsim, Penghulu Rantau Panjang, Penghulu Tanah Merah, Kejeruen Sarasah, O.K. Balau Punaga dan Saping.

Simpang Kiri : terdiri dari Raja Tualang, Raja Kota Baru, Raja Pasir Belo, Raja Binanga, Penghulu Belegen, Penghulu Kumbi, Penghulu Batu-batu, Penghulu Longkip dan Penghulu Samar Dua.

Mereka (baik yang di Simpang Kanan maupun yang di Simpang Kiri) memimpin sepetak wilayah. Wilayah-wilayah tersebut kemudian terkenal dengan nama penguasanya. Misal wilayah yang dipimpin oleh Raja Tualang, dikenal orang sebagai Kerajaan (Negeri) Tualang.

Ketika Singkil dianeksasi oleh Belanda dan dijadikan enderafdeeling pada tahun 1840, keduapuluh penguasa (raja) itu disatukan dalam sebuah wadah bernama Dewan Rapat. Tetapi mereka tetap memimpin daerah masing-masing.

Kepada raja-raja tersebut, Belanda memberikan juga tongkat jabatan. Raja Tanjung Mas (dari Simpang Kanan) dan Raja Tualang (dari Simpang Kiri) diberi tongkat jabatan berjambul emas, mengingat keduanya adalah raja yang diangkat oleh Kesultanan Aceh pertama kali. Sedang raja-raja lain diberi tongkat jabatan berjambul perak. Setiap raja didampingi pengapit (Mentri) dalam melaksanakan tugasnya. (sumber)

Selayang Pandang Singkil dalam Sejarah

SINGKIL, menjadi tersohor ke seluruh dunia, bukan karena alamnya yang kaya seperti kayu, damar, rotan, kemenyan, kapur barus dan hasil laut yang melimpah. Wilayah ini pernah melahirkan dua ulama kharismatik, Syekh Abdurrauf dan Syekh Hamzah Fanshuri sebagai sekaligus pemantik khasanah budaya dan sejarah yang mengagumkan di nusantara.

Banyak pahlawan besar berasal dari Singkil yang peran mereka tak bisa dinafikan meskipun cenderung diabaikan dalam tonggak sejarah Aceh. Ada Siti Ambiyah, Sultan Daulat, Datuk Murad, Datuk Ijo atau Mat Ijo. & Kerajaan-kerajaan Tua di Singkil (16 Mai 1989). Banyak terdapat kerajaan dan makam para ulama yang punya hubungan benang merah dengan kerajaan-kerajaan yang ada di Aceh, kata sejarahwan Indonesia, Tengku Lukman Sinar.

Kerajaan Aceh Darussalam disegani di pelataran dunia, bukan hanya keluasan wilayah dan tentaranya yang hebat, akan tetapi Aceh menjadi pusat pendidikan dan ilmu pengetahuan, pusat tamaddun dan budaya yang agung. Kehebatan kompleksitas yang dimiliki Kerajaan Aceh Darussalam ini, merupakan saham terbesar dari pemikiran mufti fenomenal Syekh Abdurrauf atau lebih dikenal dengan Syiah Kuala dan Syekh Hamzah Fansuri.

Singkil dengan Aceh Darussalam, tidak bisa dipisahkan. Ada benang merah yang menjuntai, merenda dan berajut bagaikan seperangkat jala. Ketika orang menyebut Sultan Iskandar Muda, pasti akan menyebut Qadli Malikul Adil Syekh Abdurrauf. Sehingga ada hadih maja yang sangat populer; & Adat bak Poteo Meureuhoom, hukum bak Syiah Kuala, Kanun bak Poetroe Phang, Reusam bak Lakseumana. Hukom ngon adat, lagee zat ngon sifeut. Ungkapan ini menjadi falafah hidup dan politik rakyat Aceh.

Hamzah Fanzuri menoreh kesohoran peradaban Aceh, termasuk syair-syair dan sastra relegi tasawuf wujudiahnya. Hamzah Fansurilah orang pertama yang memelopori sastra dan bahasa Melayu di Aceh, hingga menjadi linguafranka dan dijadikan bahasa persatuan di nusantara. Ironinya, kedua putra Aceh Singkil ini harus ditenggelamkan dalam sejarah, bahkan difitnah. Padahal merekalah icon dari dari kemajuan ilmu pengetahuan dan sastra-budaya di provinsi Aceh.

Abuya Tengku Baihaqi (lahir 1931), seorang pimpinan Pesantern di Aceh Singkil, mengungkapkan, ketika ia masa kanak-kanak begitu merasakan nuansa dan suasana kerajaan-kerajaan di Singkil. Keluarganya sendiri pernah terlibat sebagai pemangku kerajaan, pada kerajaan Tangjung Mas, Simpang Kanan, Aceh Singkil. Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan Aceh, yang sebelumnya pernah ditaklukan kerajaan Pagaruyung, Minang Kabau yang rajanya Cucu Ciandur Mata.

Ketika Putra Raja Minang Kabau ini melangsungkan perkawinan dengan Putri Raja Aceh. Raja Minang Kabau menyerahkan wilayah Simpang Kanan dan Simpang Kiri atau di kenal dengan & Rantau 12 kepada Raja Aceh sebagai uang antaran kawin (maskawin). Sejak itu, Simpang Kiri dan Simpang Kanan resmi menjadi wilayah kerajaan Aceh, dan semua kepala negeri diangkat langsung Sultan Aceh, Alaidin Ali Ri-yatsyah, dengan menyematkan keris Bawar.

Ketikaraja Aceh, Alaidin Ali Ri-ayatsyah yang dikenal Sultan al-Kahhar, kepada raja-raja di kerajaan Singkil diberikan tongkat jabatan berjambul emas. Sedangkan kerajaan Batu-batu di Simpang Kiri dan 13 kerajaan lainnya, diberikan tongkat jabatan dengan jambul perak.

Adanya pengukuhan dari Sultan Aceh, maka terbentuklah kerajaan-kerajaan kecil yang disebut & Raja Sinambelas (raja 16). Kerajaan Sinambelas ini, tetap berada di bawah kerajaan Aceh Darussalam dengan Ibukota Banda Aceh. Kerajaan Sinambelas ini, berbentuk otonom, bisa melaksanakan pemerintahannya sendiri (lihat A. Mufti Ali Yokyakarta: Nida 1970).

Pada masa itu, sebut Tgk. H. Baihaqi, di Singkil hanya ada dua kerajaan besar. Yaitu, kerajaan Tualang di Simpang Kiri dan kerajaan Tanjung Mas, di Simpang Kanan. & Sedangkan kerajaan lain, hanya kerajaan kecil saja. Khusus kerajaan Batu-batu, di Simpang Kiri, bisa bertahan hingga masa penjajahan Belanda dan mereka pun sempat melakukan perlawanan dengan kaum kafir tersebut dengan pahlawan wanitanya Siti Ambiyah, Teuku Pane, Pak Onah, Juhur, dan Timang. Sultan terakhirnya, bernama Sultan Daulat. Kerajaan Batu-batu ini pun, pernah menjalin kerjasama dengan Sisingamangaraja dari Bakkara, tutur Abuya.

Catatan Tome Pires, seorang pencatat Portugis tahun 1512-1515, dari tempat tinggalnya Melaka, bahwa kerajaan yang terdapat di Singkil ini berbatasan dengan kerajaan Barus dan disebelah Utara dengan kerajaan & Mencoba atau Daya (Meulaboh). Pires menulis, Kerajaan Singkil ini, banyak menghasilkan damar, sutera, lada, berbagai macam obat-obatan, dan emas. Masyarakatnya, banyak yang memiliki lancara, perahu bertiang yang sangat kencang. Ada sungai-sungai, tetapi sungainya tidak begitu kaya. Namun, dari sungai itu, masyarakat Singkil menaruh pengharapan dan memutar kehidupan juga dari sungai ini orang Singkil memperoleh kearifan.

Menurut Abuya Baihaqi, rakyat yang berdomisili di kerajaan-kerajaan yang ada di Singkil, terutama kerajaan yang berada di pedalaman, ketika itu belum beragama, masih &-Sepele Begu-. Mereka berasal dari Dairi. Setelah mereka lama menetap, mereka masuk Islam. Singkil pernah dipisahkan Belanda, tapi tahun 1905 asisten Residen Pootman menetapkan Singkil tunduk kepada Gubernur Meliter Aceh, dan berada di bawah asisten residen Aceh Barat. Baru pada tahun 1948, ketika Aceh Selatan pisah dengan Aceh Barat Singkil berada di bawah Kabupaten Aceh Selatan bersama dengan kewedanaan Tapaktuan dan Bakongan. (Serambi Indonesia -Penulis Sadri Ondang Jaya, guru dan peminat sejarah). (sumber)
Ad

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
© Copyright 2017 Harian - All Rights Reserved - Template Created by goomsite - Proudly powered by Blogger